Apakah Anda Dibayar Terlalu Murah?
8:52 AM | Author: Rachmat Arifin Mustafa
Salah satu keluhan manusia paling umum adalah tentang betapa murahnya kita dibayar. Keluhan ini muncul terutama ketika surat kenaikan gaji rutin kita terima. Betapa kenaikan take-home-pay itu tidak bisa mengimbangi kenaikan kebutuhan hidup kita. Meskipun komplain itu tidak selamanya jelek. Namun, untuk soal gaji kita perlu bertanya lagi; benarkah kita ini dibayar terlalu murah?
Ada sahabat yang getol mengomel tentang gaji. Suatu kali, kami berkesempatan makan siang setelah sekian lama tidak berjumpa. Komplain itu masih menjadi bagian dari dirinya. Lalu saya bertanya; "Memangnya elo digaji berapa?" Sebuah pertanyaan untung-untungan. Tidak dijawab juga tidak apa-apa.
"Yaaa, sekitar segini lah." Saya terbelalak karena dia begitu terbuka dengan gajinya, dan juga karena menurut hemat saya gajinya sudah tergolong besar untuk ukuran pekerjaan dan jabatan yang dia sandang.
"Pren, elu tahu rata-rata pendapatan orang Indonesia itu hanya sekitar $1,600 setahun. Artinya, cuma sekitar satu setengah juta setiap bulan. Lha, elo sudah lebih dari sepuluh kali lipat dari itu."
"Heh, elo jangan anggap gue pekerja kelas bawah gitu ye. Ya nggak berlaku lah rata-rata pendapatan semua penduduk termasuk kelas pekerja kasar dikampung-kampung dan pelosok desa tuch!" dia menukas dengan nada sengit.
"Oke, oke," saya mengangkat tangan. "Tapi, rata-rata pendapatan orang yang kerja di Jakarta pun cuma sekitar $5,167, Man. Empat setengah jutaan doang." Mata saya tertuju kearah piring. Tapi saya tahu teman saya ini melotot. "Gaji elu masih berkali-kali lipat dari itu."
"Heh, boy, udah gua bilang jangan pake rata-rata dong. Kemampuan gue juga kan diatas rata-rata!" katanya.
"Dan elo juga sudah dibayar jaoooh diatas rata-rata," tangkis saya.
"Ah, susah kali ngomong sama kau tuch!" Saya tidak kaget ketika dia menggebrak meja. Sifat aslinya keluar kalau sedang terdesak. "Orang harus dibayar sesuai dengan kemampuan dan kontribusinya masing-maaaasing!" Gayanya mirip Giant dalam film Dora Emon.
"Wah, kalau yang satu itu gue setuju abis, Man. Masalahnya, elu udah dibayar tinggi, masih komplen juga." Saya bilang. "Atas dasar apa elu merasa pantas mendapatkan bayaran lebih tinggi?"
"Pertama, teman gue." katanya "Diperusahaan lain dibayar lebih tinggi, padahal kemampuan gue nggak kalah dari dia." lanjutnya. "Kedua, gue udah kerja disini lebih dari lima tahun. Maasak, cuma segini-segini doang!"
"Menurut gue," saya meneguk teh botol. "ada satu cara yang lebih objektif untuk menentukan apakah elo dibayar terlalu murah atau tidak."
"Gimana?"
"Caranya," saya berhenti sejenak. "Elu harus menentukan satu hal. Yaitu; kalau elu tidak bekerja diperusahaan manapun, elu bisa mendapatkan penghasilan berapa?" Sesendok sayur bayam masuk kemulut saya. "Nah, kalau elu dibayar dibawah angka itu, maka elu dibayar terlalu murah. Jika tidak, artinya elu sudah mendapatkan bayaran yang layak."
Saya tahu bahwa gagasan ini agak kurang lazim. Tetapi anehnya, meskipun kita tidak puas dengan bayaran yang kita terima, kita masih juga bercokol disitu. Pertanda bahwa sesungguhnya kita tidak memiliki dasar yang kuat untuk menuntut bayaran lebih dari itu. Sebab, jika kita benar-benar memiliki alternatif lain yang jauh lebih baik, tidaklah mungkin kita berdiam diri.
Mungkin, hengkang ketempat lain bisa jadi pilihan. Tidak aneh. Kalau perusahaan pesaing merekrut kita, pastilah mereka bersedia membayar ekstra dimuka. Karena, itu bagian dari strategy persaingan bisnis mereka. Kadang, perusahaan lama melakukan 'buy back' juga. Tapi hal ini tidak selalu bisa menggambarkan kemampuan dan kelayakbayaran kita sebagai individu secara utuh. Sebab, ada 'benchmark' disetiap industry. Artinya, selalu ada saat dimana gaji kita tidak bisa naik lagi kecuali kita layak untuk dipromosi kepada jabatan dan tugas yang lebih tinggi. Makanya, tidak aneh jika ada karyawan yang direkrut dengan bayaran awal yang tinggi, tapi kenaikan gaji berkalanya tak terlalu bermakna.
Sebaliknya, jika kita bisa menentukan; 'berapa pendapatan yang bisa kita hasilkan jika tidak bekerja untuk perusahaan manapun'. Maka kita akan bisa menentukan 'nilai' kita yang sesungguhnya. Misalnya, jika kita bisa menghasilkan 30 juta sebulan, maka kita bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk mendapatkan bayaran yang sekurang-kurangnya setara dengan itu. Mengapa kita harus bertahan disana, jika bayarannya jauh lebih rendah dari yang bisa kita hasilkan sendiri? Namun, jika perusahaan sudah membayar kita lebih tinggi dari itu; kita tahu apa artinya itu, bukan?.
Sahabat saya menggugat: "Kalau gua bisa kerja sendiri ngapain gua disini? Dari dulu gua pasti sudah berhenti! Gua disini, karena gua nggak bisa kerja sendiri!" Betul. Disitulah point utamanya. Kita menyandarkan diri kepada perusahaan itu, tanpa ada alternatif lain yang lebih baik. Jika demikian situasinya, bukankah akan lebih baik jika kita berfokus kepada kontribusi yang bisa kita berikan ditempat kerja? Tanpa harus terlebih dahulu berhitung-hitung soal gaji. Sebab, jika kita hanya bisa menjadi karyawan dengan prestasi rata-rata, mengapa perusahaan harus mengistimewakan kita? Sebaliknya, jika memang kita berprestasi sangat tinggi; tidaklah mungkin perusahaan menyia-nyiakan kita. Bahkan, kenaikan gaji 'tidak lazim' mungkin bisa kita terima tanpa terduga. Dan, jikapun perusahaan tempat kerja kita benar-benar menutup mata; masih banyak perusahaan baik yang bersedia mempekerjakan kita, dengan bayaran yang sepantasnya. Asal kita bisa menunjukkan 'siapa sesungguhnya' kita ini.
YANG MUDA BERSUMPAH
4:17 PM | Author: Rachmat Arifin Mustafa
KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

KEDOEA

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.

KETIGA.

BLA….BLA….BLA……BLA……BLA…… BLA….BLA….BLA……BLA……BLA……

Rekan2 semua pasti sudah hapal dengan kalimat2 semenjak masih berseragam MERAH PUTIH (eSDe-red), yang setiap upacara di teriakkan dengan lantang oleh petugas….

Dulu ketika saya juga masih berseragam, ketika mendengar kalimat demi kalimat itu diucapkan, bergetar rasanya dada ini….ckckckckckckckck….(tenane mbul ?))…. J

Serasa kembali ke jaman tahu 1928 ketika anak2 bangsa menggelar konggres pemuda di….?????????? (sory lali..hehehe)

Tetapi dibalik itu semua apakah kawan2 tahu tujuan atau apa sebenarnya arti “SUMPAH” tersebut….?...sejujurnya sampai sekarang saya tidak memahami apa arti sebenarnyA(saya yang dungu, atau memang kondisi bangsa dan pemudanya yang menyebabkan kedunguan saya tentang sumpah pemuda ?)…….

Yang saya tahu Sumpah pemuda itu milik kita dan mengajak kita untuk saling mengerti dan memahami bahwa kita ini “SATU”….Tapi apa yang terjadi dan kita lihat di sekitar kita…….?

mengaku bahwa sumpah pemuda itu milik kita yang berantem dikala team sepakbola saya kalah

mengaku bahwa sumpah pemuda itu milik kita yang selalu mengatakan bahwa golongan dan partai saya paling benar

mengaku bahwa sumpah pemuda itu milik kita yang selalu berfikir sentralistik dan egois

mengaku bahwa sumpah pemuda itu milik kita yang selalu marah dan gampang emosi ketika “REBUTAN” senior-yunior? J

DENGAN SEMUA HAL YANG KITA ALAMI ITU, APAKAH MASIH PANTAS KITA MERAYAKAN SUMPAH PEMUDA ????????.....

Atau kita mau ikut2 tan merayakan cara para “SELEBRITIS MUDA” yang mendadak berlomba2 NYALEG ? yang merasa dENgAN darah mudanya NYALEG (opo aji mumpung ya ? - mbuh lah…)

Atau ala Amrozi cs yang menunggu waktu eksekusi dengan kepercayaan diri sangat tinggi. Semangat "muda"?

Atau ala sinetron Tipi yang selalu menampilkan sosok muda. Bahkan kebablasen, yang memerankan ibune juga jan-jane masih ting-ting. Ibune Alfino (sinetron Yasmin, red) kok seumuran dengan Alfino hehe. Juga sinetron yang lain....; Semangat muda, hampir semua pemain adalah anak muda?

Atau ketika hampir semua kepanitiaan didominasi anak muda, tetapi saat suksesi kepemimpinan, generasi muda yang mau maju malah dianggap kurang berpengalaman. Semangat doank tanpa pengalaman?.....sesuai iklannya salah satu Rokok……HAHAHAHAHA…BUKAN BASA-BASI……..

Atau... ala Syech Puji yang "merayakan" dengan istri "Muda"nya, dengan dalih "kemurnian spirit" menuju tugas sebagai manajer tertentu. Mbuh lah dalihnya apalagi. Tapi dari wajahnya, "rona"nya kok keruh cenderung sak karepe dhewe ya.....(Sopo Sing meh melu2…Om krisna ? mas tyo ?, mas dayat ?.....hehehehe)

MILIK SIAPA SIH SUMPAH PEMUDA ?

KITA YANG NGERASA MUDA ? PEMERINTAH ? RAKYAT ? INDONESIA ?

ATAU HANYA MILIK BUKU2 SEJARAH DAN BUKU PELAJARAN PANCASILA ?

ATAU HANYA MILIK GENERASI 1928 ?

Salam,

Suripun Mustafa

YANG NGERASA MUDA DAN INGIN BERJAYA…. J